?? korpus.txt
字號:
<AUTHOR>Budi Widianarko </AUTHOR>
<DATE>Senin, 08 Desember 2003 </DATE>
<TEXT>
Oleh para penganjurnya, pertanian organik dianggap mampu memandirikan petani Indonesia (Kompas, 25/10/2003, halaman 9). Pertanian organik diharapkan mampu membebaskan petani dari ketergantungan atas sarana produksi pertanian yang umumnya diproduksi perusahaan-perusahaan raksasa transnasional.
Gairah pengembangan pertanian organik di Tanah Air tidak dapat dipisahkan dari gerakan serupa yang berlangsung secara global. Bagi beberapa pelakunya, pertanian organik dipandang sebagai sebuah filosofi, gerakan sosial, dan bahkan ada yang meyakininya sebagai sebuah agama (IFST, 2001).
Pada dasarnya, pertanian organik mencakup berbagai bentuk gerakan pertanian alternatif mengikuti suatu continuum mulai dari sistem budidaya pertanian yang sama sekali tidak menggunakan bahan kimia (chemical free) hingga budidaya pertanian berkelanjutan dengan asupan rendah (low input sustainable agriculture).
Beberapa faktor yang memicu lahirnya sistem pertanian organik adalah lahirnya kesadaran tentang kerusakan lingkungan; ketergantungan pada bahan kimia dan sumber energi tidak terbarukan; serta keamanan pangan dan kesehatan.
Faktor yang terakhir inilah yang dari waktu ke waktu semakin menjadi pendorong konsumen meminati produk pertanian organik (seperti terungkap dalam The Food Marketing Institute 1990 Trends Survey, dan Information Statement of Food Science and Technology, 2001).
Istilah pangan organik (organic food) sebenarnya suatu salah kaprah. Semua bahan pangan, yang berasal dari hewan maupun tumbuhan, dengan sendirinya bersifat organik karena mengandung unsur karbon dalam struktur kimiawinya. Kata organik lebih menjelaskan metode produksi daripada sekadar karakteristik produk. Istilah yang lebih tepat adalah organical produced food atau organically grown food. Kedua istilah ini dianggap lebih sesuai karena mendeskripsikan proses produksinya (inusbandry) dan bukan produk akhirnya (Newsome, 1990).
Salah satu definisi produk pertanian organik adalah hasil sistem budidaya pertanian yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida, senyawa pengatur pertumbuhan pada tanaman, dan senyawa-senyawa feed additives pada ternak. Sebagai alternatif dari penggunaan senyawa-senyawa buatan manusia tersebut, sistem budidaya pertanian organik lebih mengandalkan pada rotasi tanaman, penggunaan pupuk hijau dan pupuk kandang, serta pengendalian hama secara hayati dan fisik (IFST, 2001).
Jika dari aspek budidayanya pertanian organik telah jelas-jelas terbukti memiliki keunggulan, tidak serta-merta produknya dapat dinyatakan unggul.
Secara ilmiah, nilai nutrisi dan mutu produk pertanian organik adalah topik yang masih kontroversial hingga saat Ini. Kajian terhadap hasil-hasil penelitian dalam topik tersebut belum dapat memberikan rekomendasi yang solid tentang keunggulan nilai nutrisi dan mutu produk pertanian organik dibandingkan dengan produk pertanian non-organik.
Absennya kandungan residu senyawa-senyawa agrokimia, terutama pestisida, dalam produk pertanian organik tentu saja menurunkan risiko keracunan pada konsumen produk tersebut. Sebagai implikasinya, produk pertanian organik bebas dari kemungkinan untuk melampaui ambang batas kandungan residu pestisida.
Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa produk pertanian organik terbukti memiliki kandungan residu agrokimia yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pertanian konvensional (seperti al Lampkin, 1990 dalam IFST, 2001).
Peneliti yang sama juga mengungkapkan bahwa produk pertanian organik memiliki keunggulan lain, yaitu kandungan yang lebih rendah untuk nitrat, oksalat, asam amino bebas, dan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan lainnya. Selain itu, juga terungkap kandungan vitamin C dalam produk pertanian organik cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produk konvensional.
Meskipun demikian, Lampkin et al, 1990 (dalam IFST, 2001) juga memberikan reservasi bahwa perbedaan karakteristik produk tersebut merupakan hasil proses-proses fisiologis tanaman yang juga dipengaruhi banyak faktor lain.
Dari aspek mikrobiologis, keamanan produk pertanian organik dan konvensional belum terbukti memiliki perbedaan yang berarti. Penggunaan pupuk kandang pada kedua sistem budidaya pertanian menimbulkan risiko kontaminal. Risiko tersebut berasosiasi dengan peluang survival Compylobacter, E coli, Salmonella, Listeria, protozoa, dan berbagai virus pasca-aplikasi pupuk kandang (tinju ternak) (lihat A Study on Farm Manure Applications to Agricultural Land and an assessment of the risks of Pathogen Transfer into the Food Chain-Nicholson et al, 2000 dalam IFST, 2001).
Dengan demikian, terlepas dari metode produksinya: organik atau tidak, konsumsi produk pertanian tanpa pemasakan yang memadai akan melahirkan risiko keracunan oleh mikroba.
Lampkin et al (1990 dalam IFST, 2001) mengutip sebuah studi jangka panjang (12 tahun) yang membandingkan produk pertanian yang dihasilkan melalui penggunaan pupuk kandang dan pupuk kimia-mendapatkan bahwa pemupukan organik menghasilkan produk yang memiliki kandungan bahan kering 28 persen lebih tinggi disertai oleh nutrien mikro dan makro yang lebih tinggi pula-meskipun yield yang diperoleh lebih rendah (24 persen).
Aspek cita rasa, terutama flavor, sangat sulit untuk diperbandingkan karena menyangkut banyak determinan-bukan sekadar organik versus non-organik saja. Faktor-faktor seperti varietas tanaman, penyimpanan, tingkat kemasakan, dan kesegaran memegang peran penting sebagai penentu flavor produk sayuran dan buah (IFST, 2001).
Satu hal yang sering kali justru berperan lebih penting dalam keamanan pangan adalah persepsi tentang "keamanan dan kesehatan" yang terbentuk di kalangan konsumen umum. Di kalangan konsumen, khususnya di negara-negara maju, sudah telanjur terbentuk persepsi bahwa produk pertanian organik adalah produk yang superior, baik nutrisi maupun keamanan dan kesehatannya. Hal inilah yang mendorong permintaan yang terus meningkat terhadap produk pertanian organik.
Persepsi itu kini telah menyebar dan berkembang pula di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya di kalangan konsumen menengah ke atas. Meskipun demikian, secara ilmiah masih diperlukan banyak penelitian untuk memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi tentang keunggulan produk pertanian organik tersebut.
Tampaknya keunggulan produk pertanian organik hingga saat ini masih cenderung berupa "mitos" yang harus lebih banyak dibuktikan secara ilmiah (lihat al Gussow, 1996, dalam Diver, 2001). Keunggulan produk pertanian organik dibandingkan dengan produk konvensional tidak dapat didasarkan pada aspek mutu dan nutrisi semata.
Namun, yang jelas, dari sudut pandang lingkungan, praksis pertanian organik jelas-jelas berpeluang memperbaiki kualitas lingkungan-yang secara tidak langsung juga menentukan mutu pangan yang dihasilkan.
Budi Widianarko Dosen Toksikologi Lingkungan dan Keamanan Pangan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
</TEXT>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas170504</DOCNO>
<TITLE> Stabilitas Pangan Terancam Lahan Menyempit, Irigasi Kacau </TITLE>
<AUTHOR> Dahono Fitrianto/M Nasir </AUTHOR>
<DATE> Senin, 17 Mei 2004 </DATE>
<TEXT>
ANCAMAN krisis pangan sudah di depan mata dan bakal dirasakan rakyat bila Pemerintah Indonesia tidak segera turun tangan untuk memperbaiki sektor pertanian. Tanda akan krisis pangan sudah tampak dan diungkapkan Direktur Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian Mohammad Jafar Hasnah dalam acara sosialisasi program perluasan areal tanam tahun 2004 di Balikpapan, Jumat, 30 April 2004.
SALAH satu ancaman bagi stabilitas pangan nasional, antara lain, adalah semakin menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi untuk perumahan dan tempat usaha lain, seperti pabrik dan pergudangan.
Selain itu, irigasi pertanian di berbagai daerah semakin tidak mendapat perhatian dalam hal perawatan sehingga di sana-sini retak, bocor, dan tidak lagi efektif untuk mengalirkan air ke petak-petak areal pertanian.
Jafar Hasnah mengungkapkan, seluas 610.596 hektar sawah di negeri ini telah berubah menjadi permukiman dan tempat usaha.
Perubahan lahan pertanian seluas itu hanya berlangsung dalam tiga tahun, yaitu mulai tahun 2001 sampai 2003. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, kata Jafar, Indonesia bisa kekurangan pangan (Kompas, 1/5).
Beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan lain-lain sebenarnya bukan terjadi dalam tiga tahun itu saja. Tahun-tahun sebelumnya, pengalihan fungsi pertanian sudah berlangsung, baik di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah di luar Jawa.
Penggusuran lahan pertanian menjadi permukiman dan tempat usaha di Pulau Jawa terjadi terutama di sekitar kota-kota besar, seperti daerah-daerah seputar Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang.
Di seputar Jakarta, seperti Kabupaten/Kota Tangerang, Serang (Banten), dan Bekasi, hingga ke arah timur sampai Karawang (Jawa Barat) yang selama ini dikenal sebagai gudang beras nasional, terjadi proses pengalihan lahan pertanian secara besar-besaran.
Seperti dipantau Kompas, lahan pertanian teknis di pantai utara Tangerang sudah porak- poranda dan sebagian berubah menjadi kompleks perumahan dan usaha galian pasir yang berkedok membuat tambak.
Perumahan Kompleks Garuda di Kampung Melayu serta kompleks pergudangan dan Perumahan Bandara Mas, keduanya di wilayah utara Tangerang, kini menempati areal yang sebelumnya merupakan lahan pertanian teknis dan subur. Petani pemiliknya masih hidup dan tinggal di kampung-kampung sekitar kompleks pergudangan dan perumahan. "Ini dulu sawah milik tetangga saya. Sangat subur tanahnya,"kata seorang anggota satuan pengamanan sambil menunjuk satu rumah di Perumahan Bandara Mas.
Belum lagi di daerah Mauk, kawasan pertanian di utara Tangerang ini juga tercabik-cabik akibat digali untuk diambil pasirnya.
Di Karawang, Jawa Barat, bahkan ada indikasi perusakan saluran irigasi teknis, sebelum lahan pertanian dialihfungsikan. Dengan alasan sawah kering dan sulit ditanami, sawah dijual dan dialihkan untuk keperluan membangun rumah dan pabrik.
Menurut Jafar, perubahan fungsi lahan pertanian dalam tiga tahun terakhir (hingga 2003) sangat hebat. Dikatakan hebat karena ia melihat perbandingan peralihan fungsi lahan pertanian pada dekade 1983 hingga 1993, "hanya" 400.000 hektar di 42 kabupaten, di delapan provinsi.
Penyempitan lahan pertanian yang berdampak pada produksi hasil pertanian diperparah dengan kerusakan irigasi teknis dan persoalan waduk yang belum juga tertangani. Akibat dari semua itu, hasil pertanian pun tidak optimal, dan bahkan gagal panen. Seperti diungkapkan oleh Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang H Fadhil, ribuan hektar sawah di kawasan pantai utara Banten mengalami gagal panen.
Kegagalan panen itu akibat banyaknya areal sawah yang terendam air akibat tersumbatnya saluran pembungan serta serangan hama (Kompas, 4/5). Menurut dia, luas lahan pertanian di Kecamatan Tirtayasa sekarang 3.500 hektar, tetapi yang bisa diharapkan hasilnya hanya 200 hektar di Desa Tirtayasa dan 650 hektar di Desa Sujung. Lainnya sudah sulit diharapkan karena berbagai masalah, terutama saluran air.
DI Cirebon, Jawa Barat, nasib sektor pertanian juga mengalami hal serupa. Sedikitnya 20 persen dari total 437 kilometer (km) panjang saluran irigasi teknis di Kabupaten Cirebon saat ini rusak berat.
Kerusakan irigasi teknis itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, alam, faktor usia, faktor manusia, serta tidak berfungsinya saluran irigasi di beberapa tempat. Hal ini diakui Kepala Subdinas Sumber Daya Air (Subdin SDA) Dinas Pengairan Kabupaten Cirebon Mulus Nuriadinata yang didampingi Kepala Seksi Operasional dan Pemeliharaan Irigasi Casripin di Sumber, Jawa Barat, Selasa (4/5).
Menurut Casripin, saluran irigasi dikategorikan rusak apabila hanya bisa berfungsi 30 persen dari fungsi normalnya. Mulus menambahkan, sebagian besar saluran irigasi yang masih rusak berat dan belum mendapat jatah rehabilitasi berada di kawasan Cirebon bagian timur, seperti di Kecamatan Losari, Pabedilan, dan Babakan.
Saluran irigasi yang mendapat sumber air dari Waduk Darma di Kabupaten Kuningan melalui Bendungan Cikeusik tersebut mengairi areal pertanian seluas lebih kurang 6.000 hektar.
Salah satu penyebab tidak berfungsinya saluran irigasi adalah tingkat sedimentasi atau pengendapan yang tinggi sehingga saluran tersebut tidak bisa dialiri air.
Selain itu, usia saluran irigasi teknis yang sudah tua menyebabkan kerusakan pada kondisi fisik tanggul, dinding saluran, dan pintu air. Selain dua faktor tersebut, ulah manusia juga menjadi salah satu penyebab kerusakan irigasi.
Menurut Mulus, pintu-pintu air yang terbuat dari baja sering dicuri dengan cara digergaji, kemudian logamnya dijual kiloan. Pada saat musim kering, masyarakat juga sering melubangi saluran irigasi untuk mengalirkan air ke sawah-sawah mereka. "Tahun 2003 kemarin kami mengeluarkan biaya hingga Rp 70 juta hanya untuk mengganti pintu air yang hilang dicuri," papar Mulus.
Dalam kesempatan itu, Mulus juga mengatakan, rehabilitasi saluran irigasi Rentang di wilayah Cirebon bagian barat dan utara saat ini sudah 98 persen selesai. Saluran irigasi yang bersumber air di Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, dan masuk dalam Zona Sumber Air Jamblang-Rentang-Jatisawit tersebut mengairi 21.000 hektar sawah atau sekitar 45 persen dari total luas areal pertanian di Kabupaten Cirebon.
Proyek rehabilitasi yang menelan biaya hingga Rp 5 miliar per tahun tersebut meliputi pekerjaan pengurasan lumpur endapan dan perbaikan dinding saluran yang mulai rusak.
Menurut Mulus, untuk meningkatkan kinerja pemeliharaan, pihaknya juga meningkatkan upah pekerja kontrak penyelenggara pemeliharaan saluran (PPS) dari Rp 300.000-350.000 per bulan menjadi Rp20.000 per hari dengan jam kerja delapan jam per hari.
?? 快捷鍵說明
復制代碼
Ctrl + C
搜索代碼
Ctrl + F
全屏模式
F11
切換主題
Ctrl + Shift + D
顯示快捷鍵
?
增大字號
Ctrl + =
減小字號
Ctrl + -