?? korpus.txt
字號:
"Di sawah saya muncul ular sawah, belut, cacing tanah, dan sebagainya. Selain itu, tanah saya jadi gembur sehingga mudah diolah," papar Paiman.
Sugiyono dari Boyolali, Jawa Tengah, bahkan sudah berhasil membuat benih sendiri sehingga ia tidak perlu lagi membeli benih ataupun bibit jagung, cabai, tembakau, kacang kapri, maupun buncis.
Yang lebih menggembirakan lagi, para petani mulai mendapatkan keuntungan dari pertanian organik ini. Kesadaran bahwa bila dipasarkan di pasar desa harganya tidak berbeda dengan hasil pertanian non-organik, menumbuhkan prakarsa baru untuk untuk membuka pasar sendiri.
KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang sangat mendukung demokratisasi pangan sebagai perjuangan keadilan sosial dan keberlanjutan ekosistem, amat giat memasyarakatkan pertanian organik ini.
Menurut Tejo Wahyu Jatmiko, Direktur Eksekutif Konphalindo, semua jalan kini dicoba agar penyebaran pertanian organik meluas dan filosofinya bisa mewarnai setiap usaha pertanian.
"Kami juga mengampanyekan pertanian kota yang berbasis pada pertanian organik. Di antaranya bekerja sama dengan Pemerintah Kota Depok yang ingin pengembangan kotanya berbasis pertanian, bekerja sama dengan dinas pertanian, sekolah, maupun langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ada," papar Tejo.
Kenyataannya, memang tidak mudah menentang arus utama pertanian yang mengunggulkan produksi dan kecepatan pengembalian investasi. Ketika Konphalindo mencoba menjangkau para kepala rumah tangga yang terkena pemutusan hubungan kerja misalnya, harapan agar pertanian kota yang mereka kerjakan segera menghasilkan uang sangat kental mewarnai.
"Ternyata kesadaran bahwa pertanian organik dasarnya adalah untuk memandirikan petani dan menjaga keberlanjutan ekosistem, belum banyak dipahami," tambahnya.
Sedikit pula yang mengerti bahwa pengembangan pertanian kota juga bermanfaat untuk membangun hubungan sosial dan kesetiakawanan dalam komunitas yang makin individual. "Masih diperlukan pembangunan kesadaran lewat berbagai cara dan sedapat mungkin berlangsung sejak dini," kata Tejo.
Karena itulah, Konphalindo sejak tahun 2000 mencoba menjalin kerja sama dengan Sekolah Alam yang berlokasi di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sekolah dengan luas lahan sekitar 8.000 meter persegi itu, dicoba dibangun sebuah laboratorium pertanian sederhana, di mana anak-anak yang bersekolah di situ bisa melihat dan mempraktikkan pertanian organik sejak dini.
Maka seperti yang ditunjukkan oleh Yudha Kurniawan, fasilitator sekolah tersebut, di salah satu sudut sekolah ini ada tanaman-tanaman dengan nama masing-masing anak sebagai penanam dan penanggungjawabnya. Mulai dari terong, cabai, jagung manis, pare, selada air, sampai mahkota dewa bisa dijumpai di sana.
Sekolah yang belajarnya di tempat terbuka itu, memang berupaya mengenalkan manusia sebagai bagian dari ekosistem sejak dini, sehingga Bumi ini bisa dihuni bersama secara berkelanjutan.
UPAYA-upaya memperkenalkan pertanian organik, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai bagian dari perjuangan untuk melawan sistem pangan yang totaliter. Suatu sistem yang disebut Vandana Shiva sebagai monopoli pengontrolan seluruh mata rantai pangan dan menghancurkan alternatif yang tersedia.
Pertanian organik menjadi senjata petani untuk kembali mendapatkan hak-haknya agar bisa menentukan sendiri tanaman yang ingin ditanamnya, keluar dari ketergantungan teknologi, sekaligus menyelamatkan keanekaan hayati dan kelestarian ekosistem.
Kalau dalam buku perlawanan orang-orang yang kalah seperti yang ditulis Scott berakhir dengan makin termarjinalisasinya buruh tani dan para petani kecil, maka mudah- mudahan perjalanan pertanian organik ini menuju ke arah yang menggembirakan.
Optimisme yang tergambar dalam buku Belajar dari Petani dengan munculnya berbagai kreasi yang bersahabat dengan lingkungan dan berbasis sumber daya lokal, tampaknya bisa menjadi perisai dalam menghadapi tekanan sistem pangan global.
</TEXT>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas250803</DOCNO>
<TITLE> Deptan Tak Akan Putihkan KKP, Meski Terjadi Kekeringan </TITLE>
<AUTHOR> Ant/mbk </AUTHOR>
<DATE> Senin, 25 Agustus 2003 </DATE>
<TEXT>
Jakarta, Senin
Departemen Pertanian (Deptan) tidak akan memutihkan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) petani yang terkena bencana kekeringan dengan alasan hal itu akan merusak sistem dan mekanisme penyalurannya.
Menteri Pertanian, Bungaran Saragih di Jakarta, Senin (25/8) menyatakan, kebijakan pemutihan terhadap kredit petani bukan kewenangan Departemen Pertanian, tetapi terkait dengan Menteri Negara Koperasi dan UKM serta pihak perbankan sebagai penyalur.
"Jika pemerintah memutihkan kredit yang telah diberikan kepada petani, maka bank sebagai pemilik dana pasti tidak akan mau. Bahkan dikhawatirkan akan merusak sistem dan sudah ada mekanismenya yang mengatur kalau seandainya terjadi gagal panen," kata Mentan Bungaran Saragih, usai menghadiri Pengukuhan Gelar Doktor bagi Sekretaris Inspektorat Jenderal Deptan, R. Soekarsono, bertempat di Universitas Negeri Jakarta.
Berdasarakan laporan perbankan hingga 1 Juli 2003, KKP yang tersalurkan ke petani tanaman pangan tercatat Rp183,364 miliar atau 23,35 persen dari plafon. Sementara itu Direktur Pembiayaan Ditjen Bina Sarana Pertanian, Endang S. Thohari mengatakan, pihaknya akan mengumpulkan perbankan penyalur KKP untuk membahas kredit petani yang terkena kekeringan.
Menurut dia, berdasarkan laporan perbankan, maka total realisasi penyaluran KKP per 1 Juli 2003 mencapai Rp1,26 triliun atau 60,93 persen dari plafon Rp 2,082 triliun yang terbagi untuk tanaman pangan Rp183,36 miliar atau 23,35 persen dari plafon, budidaya tanaman tebu Rp 873,824 miliar, peternakan Rp134,58 miliar dan pengadaan pangan Rp 68,76 miliar.
Pada kesempatan itu Mentan Bungaran Saragih juga mengungkapkan, kekeringan akan dibahas secara khusus dalam rapat Kabinet, karena kekeringan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia lebih banyak sebagai akibat persoalan di luar Departemen Pertanian, seperti irigasi, kehutanan, lapangan pekerjaan dan infrasturktur pedesaan.
Menurut Mentan Bungaran Saragih, kekeringan yang terjadi lebih banyak dikarenakan kerusakan hidrologis, terutama rusaknya hutan, bertambahnya penduduk dan banyaknya air tanah yang terserap industri.
Pemerintah, tambahnya, sudah mengantisipasi terjadinya kekeringan, meskipun dana yang disiapkan di Departemen Pertanian tidak terlampau besar, namun masih ada anggaran di departemen lainnya yang juga ditujukan untuk sektor pertanian.
Dia menyebutkan, porsi dana pertanian lebih besar justru berada di Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil), Departemen Kehutanan (Dephut), Departemen Luar Negeri (Deplu), Pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten.
"Total anggaran di luar Departemen Pertanian untuk menangani kekeringan, seperti dikemukakan Menko Kesra, Jusuf Kalla, mencapai Rp1 triliun, sementara anggaran Departemen Pertanian hanya Rp 30 miliar," katanya. Bahkan, tambahnya, dalam dua tahun terakhir pihak pemerintah telah menyediakan dana untuk mengatasi kekeringan, yang semula tidak ada.
</TEXT>
</DOC>
<DOC>
<DOCNO>kompas260304</DOCNO>
<TITLE>Pertanian Organik, Si Buruk Rupa Menanti Pinangan </TITLE>
<TEXT>
JANA (21) tercenung. Matanya tak lepas dari tanaman brokoli di kebun milik orangtuanya di Kampung Gunungbatu, Sindangjaya, Pacet, Jawa Barat. Perlahan-lahan air mukanya berubah suram menyaksikan kondisi brokoli yang ditanam bersama ayahnya itu.
Dedaunan tanaman sayuran itu tak segar dan berlubang-lubang. Pertumbuhannya juga sangat lambat meski ia sudah beberapa pekan menanam bibit sayuran itu. Alhasil brokoli itu pun belum bisa dipanen.
Beberapa saat berselang, pemuda itu mengalihkan pandangannya ke kebun brokoli tetangganya. Ia merasa iri. Brokoli milik tetangganya itu terlihat segar dan tumbuh pesat. Daunnya juga lebar-lebar dan yang jelas tak berlubang. Malah, tetangganya itu mulai menuai hasil panen brokoli tersebut dan dijual seharga Rp 5.000 per kilogram ke pedagang pengumpul.
Lalu, kenapa bisa berbeda? Perbedaan yang mencolok antara brokoli produksi Jana dan petani lainnya itu karena sistem pertanian mereka yang berbeda. Jana, anggota kelompok tani agropolitan, termasuk salah satu dari petani di desa itu yang mulai beralih ke pertanian organik. Harapannya, harga sayuran bisa lebih bagus dibandingkan dengan saat memakai produk pertanian nonorganik.
Untuk itu, Jana rela meninggalkan pupuk urea dan pestisida kimia. Saat ini ia hanya menggunakan pupuk kandang maupun pestisida organik, serta bahan produksi pertanian lain yang ramah lingkungan. Kendati cara mengolah tanaman serupa dengan pertanian nonorganik, para petani yang menerapkan sistem pertanian organik itu harus lebih banyak menyemprotkan pestisida organik.
"Sayuran organik lebih mudah terserang hama penyakit," kata Jana. Selain butuh ketelatenan dalam merawat sayuran organik, menurut Jana, masa tanam sayuran tersebut juga lebih lama dengan sayuran yang menggunakan bahan kimia. Jika masa panen brokoli nonorganik hanya sekitar 50 hari, masa tanam brokoli yang menggunakan sistem pertanian ramah lingkungan mencapai 60 hari. "Beda masa tanam sayuran organik dan bukan itu sekitar sepuluh hari," ujarnya.
SAYANGNYA, keuletan pemuda itu tak berkutik ketika berhadapan dengan pasar. Di mata pedagang pengumpul, sayuran brokoli organik itu tak ada bedanya dengan sayuran sejenis yang menggunakan produk nonorganik. Bahkan, para pedagang mengeluhkan tampilan sayuran organik yang buruk rupa tersebut. Karena itu, sayuran organik ini dihargai sama dengan yang lain, yaitu berkisar Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per kilogram.
Menurut Jana, harga sayuran organik yang ia produksi baru tinggi ketika ada wisatawan dan pengusaha dari luar yang membeli produk pertaniannya. "Selisih harganya dibandingkan jika dijual ke pedagang di sini sekitar Rp 2.000 per kilogram," katanya.
"Sepertinya pengusaha yang datang ke sini itu tahu mana sayuran organik dan tidak," tuturnya menambahkan.
Rendahnya harga sayuran organik itu membuat enggan petani lainnya untuk beralih ke sistem pertanian organik. Bagi mereka, buat apa beralih ke pertanian organik jika nantinya harganya sama juga. Apalagi dibandingkan dengan sayuran yang menggunakan bahan kimia, biaya perawatan tanaman organik lebih mahal dan masa panennya lebih lama.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur Megawati Shiddieqy membenarkan kondisi itu. Menurut dia, pasar komoditas pertanian organik itu terbuka, tapi gelap. Katanya banyak permintaan terhadap produk pertanian ramah lingkungan, tapi nyatanya saat panen tak ada pasar yang menampungnya. "Kalaupun dibeli, harganya tidak ada bedanya dengan sayuran bukan organik," katanya.
Padahal, Megawati menambahkan, banyak manfaat yang bisa diperoleh masyarakat dengan mengonsumsi sayuran organik. Karena tidak mengandung bahan kimia, sayuran itu lebih sehat dikonsumsi dibandingkan dengan sayuran yang menggunakan bahan kimia yang beracun saat ditanam. "Ada orang yang mau beli sayuran organik tapi mintanya sayuran itu langsung bisa diproduksi hari itu juga. Padahal kan mengolah sayuran organik yang siap dilempar ke pasar itu butuh sedikitnya sekali musim tanam," tuturnya.
Demi mendukung pengembangan pertanian organik, ia terpaksa membeli sendiri hasil panen sayuran organik yang diproduksi kelompok tani agropolitan. "Daripada busuk karena tidak laku, saya beli sendiri sayuran organik itu lalu dibagi-bagikan ke pegawai Dinas Pertanian di sini," ujar Megawati.
Dinas Pertanian setempat juga telah membuka pusat pelayanan agen hayati di Kawasan Agropolitan, Kabupaten Cianjur. Dengan begitu, para petani organik seperti Jana dapat memperoleh pupuk dan pestisida organik secara mudah. Kini mereka tinggal menanti pinangan dari pelaku bisnis yang memasarkan produk ramah lingkungan itu.
</TEXT>
<AUTHOR>(EVY)</AUTHOR>
<DATE>Jumat, 26 Maret 2004 </DATE>
</DOC>
?? 快捷鍵說明
復制代碼
Ctrl + C
搜索代碼
Ctrl + F
全屏模式
F11
切換主題
Ctrl + Shift + D
顯示快捷鍵
?
增大字號
Ctrl + =
減小字號
Ctrl + -